Seperti biasa ketika aku sedang dilanda masalah yang berkaitan dengan
urusan hati atau lebih suka ku sebut dengan perasaan, aku akan duduk di
atas atap genteng rumah yang bewarna hijau lumut dan melamun disana.
Melipat kedua kaki di dada
dan memeluknya erat. Ku goyangngkan tubuh ke depan dan ke belakang. Aku
yakin bila ada seseorang yang melihatku pasti akan mengira aku sedang
ditiup angin. Hal itu di karena tubuhku yang kurus dan kecil. Bolehkah
aku menggantinya dengan kata imut? Kata ‘kecil’ rasanya terlalu tidak
aku sukai untuk sebutan fisikku.
Kembali ke cerita awal bagaimana aku bisa terdampar di atas genteng
dan memandangi sekumpulan wanita disana yang mengelilingi gerobak si
Mamang penjual sayur keliling di desaku. Aku melihat mereka tertawa, dan
suara yang paling aku kenali adalah suara ibuku. Yah, beliau disana
berkumpul dengan teman-temannya dan bergosip. Membicarakan masalah
suami-suami mereka atau membicarakan anak-anak mereka. Saling
menebar kesombongan dan keangkuhan. Aku benci saat-saat seperti itu.
Aku benar-benar benci, karena ajang pamer kehebatan masing-masing akan
membawa dampak bagiku.
Bagaimana caranya?
,
Ku beritahu kau, itulah alasan aku berada di genteng dengan wajah
sembab. Aku memang habis menangis. Kesedihan yang wajar dirasakan oleh
seorang anak saat Ibu kandungnya sendiri selalu membandingkan diriku
dengan anak-anak perempuan seusiaku. Aku mengusap kembali air
mataku yang ku paksakan berhenti tapi malah berakhir makin deras
jatuhnya. Sepertinya pelupuk mataku pun tidak sanggup menahan sakit
hatiku. Nyeri sekaligus sesak yang sulit aku ungkapkan di dadaku yang
sulit untuk diungkapkan. Aku tetap menahan tangis agar tidak ada satu
orang pun yang di bawah sana melihat ke atas dan menemukanku sedang
menangis.
“Hei dara!”
Seseorang menepuk pundakku halus. Aku tidak perlu menoleh kepadanya,
karena orang tersebut langsung mengambil tempat di sisi kananku tanpa
meminta izin.
“Kau bertengkar lagi dengan ibu?” Ia bertanya padaku dengan lembut.
Melihat caranya memperlakukanku, aku tahu ia mengerti perasaanku.
Perasaannya cukup peka untuk seorang kakak laki-laki.
Aku malah menyembunyikan wajahku dalam lipatan kakiku. Tangisanku
semakin kencang dan guncangan bahuku pun makin tidak terkendalikan.
“Ayolah, ceritakan padaku.”
“Aku benci ibu, Kak.” Isakku. Aku tahu kalimatku terlalu mengejutkan.
Di saat seluruh anak mencintai ibunya, aku malah membenci ibuku.
Kakakku tidak membantah. Ia ingin aku meneruskan ceritaku maka itu yang aku lakukan.
“Ibu menyuruhku membuat sambal lado ikan untuk makan siang kita…” AKu berhenti sebentar untuk menarik ingusku yang lolos dari lubang hidungku yang mancung, “Aku lupa
menambahkan bawang merah saat aku giling. Aku benar-benar lupa kak,
tapi ibu menyalahkan aku seakan-akan aku telah melakukan kesalahan
besar. Ia mulai membandingkan aku dengan Rina yang jago memasak, dan
tidak segan-segan ibu menyebutku ceroboh dan bodoh.” Saat mengucapkan
kata-kata terakhir, hatiku tertohok kembali. Aku benar-benar mengingat
dengan jelas ucapan ibu yang tajam menyayat hatiku. Sangat luar biasa
sakit. Dadaku sesak, menahan tangis yang akan keluar lagi.
“Lalu?”
“Aku berlari keluar dari dapur dan disini aku berada. Menjauhi rumah dan menjauhi ibu.”
Kakakku menarik nafas dalam-dalam. Ia meluruskan kakinya di atas genteng. Menatap lurus pada sekumpulan wanita disana.
“Aku paham rasa sakit hatimu. Tapi maukah kau juga berpikir dari posisi ibu?”
“Berpikir apa? Berpikir bagaimana setiap kata dapat melukai hati anakknya? Itu yang kau mau untuk aku pikirkan?”
“Pikirkan alasan ibu mengucapkan kalimat itu. Apakah kau pernah
berpikir bahwa ibu kelelahan setelah menyiapkan keperluan kita. Belum
lagi Ifa menangis terus dari tadi. Ibu hanya kebingungan.”
“Tapi itu tidak bisa dijadikan alasan buat Ibu untuk berhak mengataiku Kak.”
“Aku hanya ingin memberi saran padamu. Aku tidak membenarkan sifat
Ibu dan aku juga tidak ingin menyalahkan Ibu, tapi pikirkan ini: Sakit
mana saat Ibu berusaha melahirkanmu dengan sakit hatimu saat ibu khilaf
memarahimu?”
Aku terdiam sejenak. Aku tidak tahu harus menjawab apa, semua
kata-kata pembelaan bagiku hilang semuanya. Sakit saat ibu melahirkanku
mungkin memang tidak ada tandingannya. Aku pernah membantu Ibu Nani —
bidan kampung — saat ia membantu persalinan Ibu Wijaya. Aku pikir beliau
akan meninggal, melihat nafasnya yang putus-putus dan keringat yang
mengalir deras. Bahkan aku terkesiap saat Ibu Wijaya sempat kehilangan
kesadaran. Bodoh sekali aku melupakan moment beharga itu. Bodoh sekali…
“kau tidak perlu menjawabnnya. AKu hanya ingin kau merenunginya.”
Setelah kalimat terakhir kakakku itu, aku memang tidak banyak berkata
apa-apa lagi. AKu hanya mengamati Ibuku yang masih saja berbelanja,
padahal ibu-ibu yang lain sudah pergi. Ku lihat wajah Ibuku kecewa dan
ia berbalik meninggalkan si mamang yang sudah mendorong gerobak
sayurnya.
Saat ia berjalan kembali ke rumah, matanya melirik ke atas dan ia melihatku.
“Joe, apa yang kau lakukan pada adikmu hah?” Ibuku berteriak dari bawah agar suaranya sampai pada kami.
“Cuma cari angin Bu. Dara ingin berjemur biar kulitnya bertambah hitam.”
AKu memukul kakakku keras. Ia sangat suka menggodaku, tapi aku bersyukur ia tidak memberi tahu ibu kalau aku baru saja menangis.
“Sudahlah. Kalian turun ya. Ibu akan membuat sayur asam.”
“Sayur asam?” pekikku.
Ibuku tersenyum, “Iya, tapi ayamnya habis sayang. Jadi ibu hanya
membeli tempe untuk lauknya.” Dan kini aku tahu kenapa wajah ibuku
terlihat kecewa tadi. Ayam kesukaanku telah habis.
Sayur asam ibuku adalah makanan favorit ku. Biasanya Ibu selalu
menggoreng ayam untuk lauknya, tapi tempe pun tidak apa, yang penting
masakan ibu.
“Tidak apa-apa Bu. Sayur asam saja sudah cukup. AKu akan turun sekarang.”
Aku berlari turun dan langsung menuju pintu depan. Aku membawa kantung belanjaan ibu dan membawanya ke dapur.
kakakku yang rupanya mengikuti jejakku untuk turun dari genteng pun
tiba di dapur. Ia memandangi kami dengan wajah yang sumringah.
“Ada yang perlu ku bantu?” Ia menawarkan bantuannya.
“Sudahlah kakak. kau di luar saja. Memasak adalah urusan wanita. Iya kan Bu?” AKu meminta pembelaan dari ibuku.
Ibu ku tidak menjawab. ia cukup tersenyum yang ku artikan sebagai jawaban ‘Ya’
“jangan sampai gosong ya.” Goda kakakku.
Ia pun berhasil menghindari pukulanku. Dia adalah kakakku, kakak yang
selalu bisa menjadi pendengar yang baik. Dan wanita yang berdiri disana
adalah ibuku. Ya dia ibuku, apapun yang terjadi ia tetap ibuku.
‘Maafkan aku Bu.’ Ucapku dalam hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar